Mengapa Umat Islam Terpuruk?
By: Nandang Burhanudin
Sepanjang
khutbah Jumat atau dalam lantunan doa-doa qunut, kita sering
menyampaikan doa: "Allaahumma a'izzal Islaam wal Muslimin!"
(Ya Allah, jayakanlah Islam dan umat Islam).
Namun
mengapa seorang Liebermen, Menlu Israel mengatakan, "Mana Allah Tuhan
kalian, mengapa diam saja saat kami hancurkan Gaza?"
Malah
saat kader-kader Ikhwan dibantai Jenderal As-Sisi, seorang ulama
mengatakan, "Ikhwan tidak diridhoi Allah. Makanya dihancurkan!"
Mengapa Allah tak menurunkan pertolongan dan kejayaan, atau mengabulkan doa-doa kita?
Penyebabnya:
Umat
Islam berada pada fase kritis. Kita umat Islam bersemangat jihad fii
sabilillah. Namun abai dalam mempersiapkan segala hal yang mampu
dilakukan untuk berjihad. Umat Islam bersemangat merestorasi citra di
hadapan non Islam. Sayangnya kebanyakan kita tak bersungguh-sungguh
menampilkan kemampuan optimal dan maksimal untuk memperbaiki realitas
kita sendiri.
Kita
menginginkan seluruh urusan umat Islam dan agama Islam diurus oleh
pihak-pihak kompeten, terpilih, memiliki integritas dan kapasitas
mumpuni. Namun derap langkah, gerak perjuangan tak melebihi lantunan
doa.
Kita
selalu mengharapkan jalan keluar, solusi terbaik dari problematika
umat, namun kita tidak menyiapkan perbekalan, alat yang cukup, dan nafas
perjuangan yang panjang.
Akhirnya
kita terjerumus pada harapan, menunggu dan menunggu turunnya keajaiban,
tapa berusaha keras menempuh sunnatullah yang seharusnya dilakukan.
Mengaku paling sesuai dengan thoriqoh dakwah Rasul. Lalu saat menengok pada aktivitas keseharian, kita terpana dalam kaget.
Bahwa
untuk berhijrah saja, baginda Rasul mempersiapkan makan, minuman,
perbekalan, kendaraan, teman di perjalanan, dan petunjuk jalan (walaupun
seorang kafir). Baginda Rasul mengambil sunnatullah yang harus dilalui.
Mempersiapkan persiapan maksimum, baru setelah semua itu, baginda Rasul
menyerahkan takdir perjuangan kepada Allah Ta'ala.
Bukankah
saat di Gua Tsur, Rasul bersabda kepada Abu Bakar Shiddiq, "Andai salah
seorang kafir musyrik yang mencari jejak melihat ke bawah kakinya,
niscaya ia akan mampu melihat kita." Allah Ta'ala menurunkan mukjizat,
keajaiban, dan menghujamkan keyakinan,
"Jangan pernah bersedih, Allah bersama kalian."
Sepanjang
sejarah, peradaban Islam dan keagungannya tidak dilahirkan dari rahim
keajaiban atau kekuatan supranatural. Penaklukan-penaklukan wilayah baik
di era Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, selalu menghadirkan persiapan
herois dan perjuangan patriotis.
Silahkan
baca kisah Shalahuddin Al-Ayyubi, Qutuz, atau Muhammad Al-Fatih. Tak
ada yang simsalabim. Tapi diawali dari riset berkepanjangan,persiapan
prajurit yang tak terkalahkan. Berbaris rapih melebihi jamaah shalat
saat ini.
Seorang
Zaki Nagueb Mahmud, filosof Mesir kenamaan menegaskan, bahwa tragedi
yang menimpa umat Islam disebabkan pudarnya "cita rasa Islam" (Islamic
Sense).
Cita
rasa itu perlahan sirna dari keIslaman kita. Ritual-ritual terus
dilakukan, namun nilai-nilai Islam dan manhaj (way of life) tanpa
disadari hilang.
Akhirnya segala kebutuhan umat Islam disuplai pihak luar yang anti-Islam.
Maka doa-doa, jargon, bahkan teriakan takbir kita tak menggetarkan musuh-musuh Islam.
Karena kita tidak memiliki sebab-sebab yang mampu menopang kita menjadi pemenang.
Kita alergi dengan apapun yang datang dari Barat.
Tapi kita tak mampu menampilkan diri sebagai yang terbaik.
Umat
Islam generasi awal tidak alergi dengan model Persia saat menggali
parit di perang Khandaq. Juga tidak menolak menggunakan Manjaniq yang
merupakan senjata Romawi saat menaklukkan Thaif. Pun memanfaatkan orang
munafik benama Shafwan bin Umayyah untuk memerangi Hawazin.
Sementara kita?