Minggu, 15 Februari 2015

Mengapa Umat Islam Terpuruk?

Mengapa Umat Islam Terpuruk?
By: Nandang Burhanudin
 


Sepanjang khutbah Jumat atau dalam lantunan doa-doa qunut, kita sering menyampaikan doa: "Allaahumma a'izzal Islaam wal Muslimin!"
(Ya Allah, jayakanlah Islam dan umat Islam).

Namun mengapa seorang Liebermen, Menlu Israel mengatakan, "Mana Allah Tuhan kalian, mengapa diam saja saat kami hancurkan Gaza?"
Malah saat kader-kader Ikhwan dibantai Jenderal As-Sisi, seorang ulama mengatakan, "Ikhwan tidak diridhoi Allah. Makanya dihancurkan!"

Mengapa Allah tak menurunkan pertolongan dan kejayaan, atau mengabulkan doa-doa kita?

Penyebabnya:
Umat Islam berada pada fase kritis. Kita umat Islam bersemangat jihad fii sabilillah. Namun abai dalam mempersiapkan segala hal yang mampu dilakukan untuk berjihad. Umat Islam bersemangat merestorasi citra di hadapan non Islam. Sayangnya kebanyakan kita tak bersungguh-sungguh menampilkan kemampuan optimal dan maksimal untuk memperbaiki realitas kita sendiri.
Kita menginginkan seluruh urusan umat Islam dan agama Islam diurus oleh pihak-pihak kompeten, terpilih, memiliki integritas dan kapasitas mumpuni. Namun derap langkah, gerak perjuangan tak melebihi lantunan doa.
Kita selalu mengharapkan jalan keluar, solusi terbaik dari problematika umat, namun kita tidak menyiapkan perbekalan, alat yang cukup, dan nafas perjuangan yang panjang.
Akhirnya kita terjerumus pada harapan, menunggu dan menunggu turunnya keajaiban, tapa berusaha keras menempuh sunnatullah yang seharusnya dilakukan.
Mengaku paling sesuai dengan thoriqoh dakwah Rasul. Lalu saat menengok pada aktivitas keseharian, kita terpana dalam kaget.

Bahwa untuk berhijrah saja, baginda Rasul mempersiapkan makan, minuman, perbekalan, kendaraan, teman di perjalanan, dan petunjuk jalan (walaupun seorang kafir). Baginda Rasul mengambil sunnatullah yang harus dilalui. Mempersiapkan persiapan maksimum, baru setelah semua itu, baginda Rasul menyerahkan takdir perjuangan kepada Allah Ta'ala.

Bukankah saat di Gua Tsur, Rasul bersabda kepada Abu Bakar Shiddiq, "Andai salah seorang kafir musyrik yang mencari jejak melihat ke bawah kakinya, niscaya ia akan mampu melihat kita." Allah Ta'ala menurunkan mukjizat, keajaiban, dan menghujamkan keyakinan,

"Jangan pernah bersedih, Allah bersama kalian."

Sepanjang sejarah, peradaban Islam dan keagungannya tidak dilahirkan dari rahim keajaiban atau kekuatan supranatural. Penaklukan-penaklukan wilayah baik di era Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, selalu menghadirkan persiapan herois dan perjuangan patriotis.
Silahkan baca kisah Shalahuddin Al-Ayyubi, Qutuz, atau Muhammad Al-Fatih. Tak ada yang simsalabim. Tapi diawali dari riset berkepanjangan,persiapan prajurit yang tak terkalahkan. Berbaris rapih melebihi jamaah shalat saat ini.
Seorang Zaki Nagueb Mahmud, filosof Mesir kenamaan menegaskan, bahwa tragedi yang menimpa umat Islam disebabkan pudarnya "cita rasa Islam" (Islamic Sense).
Cita rasa itu perlahan sirna dari keIslaman kita. Ritual-ritual terus dilakukan, namun nilai-nilai Islam dan manhaj (way of life) tanpa disadari hilang.

Akhirnya segala kebutuhan umat Islam disuplai pihak luar yang anti-Islam.

Maka doa-doa, jargon, bahkan teriakan takbir kita tak menggetarkan musuh-musuh Islam.
Karena kita tidak memiliki sebab-sebab yang mampu menopang kita menjadi pemenang.
Kita alergi dengan apapun yang datang dari Barat.
Tapi kita tak mampu menampilkan diri sebagai yang terbaik.

Umat Islam generasi awal tidak alergi dengan model Persia saat menggali parit di perang Khandaq. Juga tidak menolak menggunakan Manjaniq yang merupakan senjata Romawi saat menaklukkan Thaif. Pun memanfaatkan orang munafik benama Shafwan bin Umayyah untuk memerangi Hawazin.

Sementara kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar