Oleh:
Muhbib Abdul Wahab
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Aisyah RA menuturkan: "Aku tidak pernah melihat Rasulullah
menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. Dan aku
tidak pernah melihat beliau banyak melakukan puasa di luar Ramadhan kecuali
pada bulan Sya'ban." (HR Muttafaq 'alaih)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Sya'ban merupakan bulan "pemanasan
puasa" atau prakondisi Ramadhan. Puasa, sebagai amalan yang sangat
dianjurkan dilakukan, di bulan Sya'ban, merupakan latihan persiapan yang
diharapkan dapat memantapkan kualitas puasa Ramadhan. Jika diibaratkan bercocok
tanam, Sya'ban itu bulan menyemai benih, mulai merawat pertumbuhan "tanaman
kebaikan", sedangkan Ramadhan merupakan bulan memanen. Artinya, kita tidak
mungkin dapat memanen kebaikan kalau tidak pernah menanam dan merawat tanaman
itu.
Pesan lain yang dapat dipetik adalah bahwa ibadah Ramadhan menjadi lebih
sempurna dan lebih produktif jika didahului dengan latihan-latihan spiritual
(riyadhah ruhiyyah) yang terprogram secara berkelanjutan. Karena ibadah dalam
Islam pada umumnya menuntut adanya konsistensi (istiqamah) dan keberlanjutan,
bukan hanya dilakukan sekali dan langsung paripurna, kecuali ibadah haji.
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah bersabda: "Sya'ban itu bulan
antara Rajab dan Ramadhan. Bulan ini banyak diabaikan oleh umat manusia,
padahal dalam bulan ini (Sya'ban) amal-amal hamba itu diangkat (diterima
oleh Allah). Aku ingin amalku diterima oleh Allah di bulan Sya'ban dalam
keadaan aku berpuasa." (HR Baihaqi)
Keutamaan Sya'ban juga dijelaskan oleh Nabi SAW bahwa pada malam pertengahan
itu (nishfu Sya'ban) Allah SWT turun ke langit dunia untuk
"memonitor" semua makhluk, lalu mengampuni hamba-hamba-Nya (yang
beristighfar), kecuali orang musyrik dan orang yang saling bermusuhan (HR Ibn
Majah). Jadi, sebagai persiapan mental-spiritual, kita perlu bermuhasabah
dengan qiyamulail (shalat Tahajud), bertobat, beristighfar, bermunajat kepada
Allah sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
Selain itu, pada Sya'ban juga Allah menetapkan perubahan arah kiblat umat Islam
dari Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina, ke Ka'bah di Masjidil Haram,
Makkah. Perubahan arah kiblat ini membawa hikmah besar bagi Nabi SAW sendiri
maupun umat Islam, yaitu peneguhan akidah tauhid dan signifikansi persatuan
umat.
Pemaknaan Sya'ban sebagai bulan pemantapan iman, persiapan mental-spiritual
prakondisi Ramadhan, dan persatuan umat menjadi sangat relevan dengan arti dan
konteks historis Sya'ban itu sendiri. Menurut sejarah, dinamai
"Sya'ban" karena orang-orang Arab pada waktu itu banyak berpencar
untuk mencari mata air sehingga terpencar dan bercerai-berai. Mencari air di
padang pasir mengandung makna berjuang mati-matian untuk menmpertahankan hidup
dan meraih masa depan yang lebih baik.
Jadi, bulan Sya'ban juga harus dimaknai dan diisi dengan memperbanyak
amalan-amalan sunah yang dapat me-refresh spiritualitas dan moralitas kita
sehingga ketika memasuki Ramadhan kita benar-benar siap untuk berpuasa lahir
batin. Tidak ada salahnya pula jika di bulan Sya'ban ini kita banyak berdoa:
"Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban ini, dan antarkanlah
kami sampai (berpuasa) di bulan Ramadhan." Meski doa ini tidak berasal
dari Nabi SAW, spirit untuk menyambut dan memasuki bulan Ramadhan itu sangat
penting. Wallahu a'lambishawab